Bundar. Kotak tisu di sebelahku itu berbentuk bundar dan mengambang. Ya, 2029 adalah tahun dimana KOTAK tisu berbentuk BUNDAR. Sesuatu yang tidak pernah terfikirkan olehku dari dahulu. Dan ia mengambang guna menghampiri tuannya yang sedang membutuhkan tisu yang disediakannya. Kau tahu, kotak tisu ini sudah dipasangi prosesor, sehingga ia sudah bisa berfikir sendiri siapa yang membutuhkannya dan ia juga bisa merasakan jika tisu yang ada di dalamnya sudah habis lalu mengisi dirinya sendiri.
Hah! Semua kecanggihan itu tak membuat schizophreniaku menjadi sembuh. Tidak hanya kotak tisu saja yang sudah menjadi canggih di jaman ini. Bahkan kau bisa melihat kecanggihan seseorang dengan melihat komponen tubuhnya. Apakah tubuhnya itu masih orisinil atau sudah dihinggapi dengan augmentasi - augmentasi mesin berukuran nano. Tapi... AUGMENTASI ITU TIDAK BISA MENYEMBUHKAN SCHIZOPHRENIAKU!
Aku tidak mengerti. Aku tidak ingin menyalahkan zaman. Aku tidak ingin menyalahkan diriku sendiri. Lalu siapa yang salah terhadap penyakitku ini? Tuhan-kah?
Tidak. Aku tidak ingin menyalahkan Tuhan. I believe God is Good, ALL THE TIME!
Tapi bagaimanapun, aku bersyukur kepada Tuhan masih diberikan rizki sampai saat ini. Seperti yang aku bilang sebelumnya, biaya rumah sakit itu mahal dan menjadi 'manusia-manusia mekanik' sepertiku ini memiliki biaya perawatan yang tidak murah. Aku mengaku sekarang, bahwa aku sudah ditanami beberapa mesin berukuran nano yang mendorong saraf-saraf otakku menjadi lentur seperti plastik.
Mesin ini bekerja untuk mendorong saraf cerebral agar menghentakkan dirinya ketika aku sedang berhalusinasi. Efek hentakan nya itu dapat mengembalikan kesadaranku yang sedang dimakan perlahan menuju 'akal-akalannya' akalku. Setidaknya itu yang dikatakan dokter kepadaku. Tetapi ternyata halusinasi masih bisa mengalahkan teknologi. Dan diriku juga masih 'dikalahkan' oleh Ben.
***
Aku baru saja mengalami kontraksi yang hebat di seluruh tubuh. Dan itu yang aku rasakan setiap aku mengalami terapi. Meski semua kecanggihan ini telah menyelimuti, tapi rasa sakit dan juga kontraksi ini tak pernah teredam saat terapi.
Aku...ingin bunuh diri saja. Tak tahan aku terhadap terapi ini yang harus dilakukan terus menerus selama nyawaku masih tersemat. Tak tahan aku membuat Sabrina kesusahan, terseok-seok karena suaminya yang terlalu 'liar'. Tak tahan aku terhadap orang - orang yang hidup di alam fikiranku yang telah membuat susah orang - orang di dunia nyata.
Hanya satu yang menahanku untuk melakukan bunuh diri. Sabrina. Aku yakin akan kata-kata Sabrina. Aku yakin akan motivasi Sabrina. Aku yakin akan KEYAKINAN Sabrina. Keyakinan itulah yang membuatku tetap hidup. Keyakinan itulah yang membuatku tetap bertahan. Keyakinan itulah yang membuatku tetap ADA di dunia ini.
Setelah kontraksi terapiku mulai mereda, dokter memperbolehkan istriku masuk untuk bertemu. Ia menyambutku dengan senyuman. Tapi aku tak melihatnya karena aku masih belum siuman. Hanya saja, belum siuman itu tak menghalangiku untuk merasakan hangatnya senyuman istriku itu. Ada pancaran yang hangat menoreh bibirku perlahan dan seakan mengecup. Dan aku yakin, itu berasal dari senyumannya.
Sabrina tetap terjaga selama 3-4 jam, menungguku untuk bangun dari keadaan dormant. Tidur panjangku itu tak menyurutkan semangat istriku untuk tetap berjaga jikalau aku bangun dan berhalusinasi yang aneh - aneh lagi.
Dan aku bangun. Membuka mata secara perlahan. Tiba - tiba jari telunjuk Sabrina menempel di bibirku. Ia bilang "ssstttt... jangan bicara dulu."
Aku menutup kembali mulutku yang akan terbuka itu.
"Kulihat kau sudah terlalu lama disini. Maukah kau berjalan-jalan,Kenny?", tanya Sabrina kepadaku dengan suara yang pelan.
Aku mengangguk perlahan untuk menjawab pertanyaannya.
"Kemana?", tanyanya.
"A...tap...", sambil menggerakan bola mataku ke arah atas dan juga menunjuk jari telunjuk ke arah langit-langit.
Istriku hanya mengangguk dan menyanggupi.
Cerita selanjutnya...
Mungkin...
-- To Be Continued --