Pages

Sabtu, 03 Oktober 2015

Another twisted story: On the Hospital Rooftop (part 3 of 3)

Written by: Johan Iswara (Coordinator of Pengusaha Kampus Jateng Plat R and Member of Pengusaha Kampus Writerpreneur)
Inspired by: @kurniawangunadi from his short story "Cerpen: Matahari Surga" on Tumblr

Sabrina perlahan membantuku bangun dari tempat tidur. Badan yang masih terasa begitu berat akibat kejang - kejang yang kualami selama terapi tadi memaksa sabrina untuk bisa lebih sabar dalam menopang tubuhku. Ia membantuku untuk ditaruh di kursi levitasi. Hmm...mungkin kau yang membaca tulisan ini lebih mengenal kursi roda ketimbang kursi levitasi.

Kursi ini terbang, mengangkutku menuju pintu yang ada di penghujung kamar. Kemudian istriku menyentuh beberapa tombol di dekat pintu. Tombol tombol itu berguna untuk menggerakkan ruangan ini ke arah yang diinginkan. Konsepnya seperti lift, tetapi setiap kamar bisa digerakkan. Jadi tidak perlu lagi orang bergerak menuju ke tempat yang ingin dituju di rumah sakit ini, cukup gerakkan RUANGAN dan juga SEISINYA dengan beberapa tombol saja.

Hanya dalam 5 detik, kamarku yang berada di lantai 16 ini langsung berada di atap rumah sakit yang notabene berada di lantai 23.

Kemudian aku keluar dengan dibantu Sabrina yang mendorong kursi levitasi yang aku tumpangi.

Wuuusss...

Angin malam menerpaku terlebih dahulu ketimbang Sabrina. Pantas saja, Sekarang sudah jam 22.30. Semoga saja Sabrina tidak sakit, menemaniku di atap setelah hampir seharian ia terjaga.

Kita bersama, menuju ujung atap, dimana pemandangan kota tampak begitu indah nan memukau. Orang dan kendaraan begitu 'menyemuti' lansekap yang ada. Begitu kecil, sampai mungkin orang sepuh yang melihat ini membutuhkan kacamata untuk melihatnya.

Lalu aku menengadahkan tanganku dan.menoleh ke Sabrina.

"Ta...ruh...", ucapku lirih sambil melihat ke arah tanganku.

Kemudian Sabrina bertanya, "Apa yang harus aku taruh?"

"Ta...ngan..."

Saat itu juga Sabrina begitu sergap menaruh tangannya, menyelimuti tanganku yang semakin dingin berkat angin malam. Malam ini... aku harus berbicara kepadanya terkait apa yang selama ini aku pendam.

"Sa...", dengan nada menurun dan nafas yang terengal

"Iya?"

"A...ku..."

Belum selesai, tiba - tiba ada yang memanggilku dari belakang. Suara laki - laki. Familiar.

"Kenny!", teriak Ben. "Akhirnya kau keluar juga dari kamarmu. Sudah punya keberanian sekarang? Kalau begitu, ayo kita berpetualang lagi...", ajaknya bersemangat.

Aku diam.

"Sayang, kamu kenapa?", tanya Sabrina kepadaku.

"Ada...Ben...", sambil menunjukkan jariku ke arah tempat Ben muncul.

"Tenang sayang. Tenang. Ben hanya ada di dalam pikiranmu. Disini tidak ada siapa - siapa.", kemudian genggaman tangan Sabrina kepadaku semakin keras, seakan tak mau lepas.

"To...long...u...sir...", pintaku.

"Enggak kenny. Yang bisa mengusir Ben cuman kamu."

Kemudian Sabrina memelukku erat sambil mengusap rambutku dengan tangannya, seakan tau keinginanku malam ini membawanya ke atap.

"O...bat...",kataku kepada Sabrina.

"Tapi...kau baru saja selesai terapi sayang.", katanya cemas kepadaku.

"Gak...papa..."

Akhirnya Sabrina kembali memencet beberapa tombol di dekat pintu untuk memanggil kamarku. Secara status, kini aku sendiri di atap. Karena istriku sedang tidak memerhatikanku. Dan yang sedang memerhatikan justru adalah Ben.

"Kau tak bosan apa ditemani dengan Sabrina terus?", tanya Ben dengan nada meremehkan.

Aku diam, meskipun sedikit emosi. Tidak, tidak. Ben itu hanya ilusi. Aku tidak boleh emosi dengan perkataannya.

"Hei kawan. Ayolah. Aku tahu kau itu adalah orang yang bebas. Penuh petualangan. Masa iya kau selalu mau dikekang oleh istrimu itu?"

Aku tetap diam sambil menenangkan fikiranku.

"Kau tau? Sekarang aku yang bosan berpetualang. Aku ingin menjadi seperti kau. Aku iri denganmu."

Tetiba aku heran. Baru kali ini aku mendengar perkataan seperti itu dari Ben, si tokoh imajiner ciptaan Schizophrenia yang ada di dalam kepalaku.

"Aku iri denganmu. Mempunyai istri yang setia dan cantik seperti dia. Bagaimana jika kita bertukar tempat? Kau yang berpetualang dan aku yang menemani Sabrina?", kata Ben.

Aku masih diam, menebak - nebak apa yang dimaksud dari perkataan Ben.

Kemudian ada bunyi "TING!", tanda kamarku sudah sampai di atap. Lalu ada suara dibukanya pintu tanda Sabrina masuk ke dalam kamarku untuk mengambil obat.

Saat itu juga Ben melanjutkan perkataannya.

"Sabrina...oh...Sabrina... aku ingin menggenggam tanganmu, memeluk tubuhmu, mengecup bibirmu.", ujar Ben.

Jujur, aku cemburu. Aku tersulut dengan perkataan seorang tokoh imajiner. Kemudian Ben berjalan ke arah ujung atap dari yang tadinya ia sedang berada di sebelahku.

"Ooh...Sabrina...Sayang sekali mengapa kamu mendapat laki - laki bajingan seperti Kenny yang suka sakit - sakitan ini. Mengapa engkau mau dengan dia? Ooh... sayang sekali dirimu yang indah itu harus termakan dengan keluhan keluhan Kenny yang tak berdaya ini."

Aku marah. Emosiku memuncak. Refleks, aku mendorong tuas yang ada di kursi levitasiku ke arah depan dengan kencang. Tujuannya untuk menabrak Ben yang sedang berada di tepi atap. Alhasil kursi levitasiku maju dengan kecepatan 10 km/jam dan menabrak Ben.

Tapi ketika menabrak Ben, aku baru sadar bahwa ia bukanlah nyata. Ia menembus begitu saja di hadapanku, meninggalkan dinding yang akan aku tabrak di depan. Jikalau aku tabrak dinding ini, otomatis aku akan terlempar dan jatuh dari ketinggian 23 lantai.

Saat itu, istriku baru saja membuka pintu kamar setelah mengambil obatku. Dan yang ia lihat adalah pemandangan dimana aku sudah mulai setengah terlempar ke arah luar atap. Spontan ia teriak, "KENNYYYYY!!!". Sementara teriakan itu tak menghentikan laju jatuhku.

Aku menyesal. Mengapa aku termakan dengan bualan dan juga 'gorengan' Ben terhadapku. Mungkin aku kotor. Mungkin aku terlalu hina. Sampai sampai aku mengikuti hawa nafsuku untuk membunuh Ben dengan fisikku. Dan bukan dengan akalku.

Perlahan, satu persatu lantai aku lewati. 17,16,15,14. Terus ke bawah dan tak kuasa aku melihatnya. Aku pasrah. Mungkin kau mengenal peribahasa "Sudah jatuh, tertimpa tangga pula". Sekarang aku mengalami "Sudah jatuh, terkena aspal pula".

Sesampainya di lantai 4, aku merasa kakiku mulai dingin, tak terasa. Di lantai 3, perutku mulai hilang asa. Dan di lantai 2, jantungku mulai berhenti.

Saat itu juga, tiba - tiba ada bola yang menyelimutiku sekujur tubuh yang berasal dari tangan sebelah kananku. Tepatnya di bagian pergelangan tangan. Kemudian badanku mengikuti alunan membalnya bola di tanah yang tadinya kukira akan aku rasakan langsung dengan sekujur tubuh.

Saat itu aku langsung bisa merasakan kembali tubuhku,tangan,kaki, semuanya. Lalu aku bangun. Masih dengan keheranan. Kulihat sekeliling untuk mengetahui alasan mengapa aku bisa selamat jatuh dari lantai 23.

Ternyata, bola ini berasal dari infusedisk-ku. Infusedisk ini bekerja sebagai infus, bentuknya kecil hanya seukuran flashdisk di tahun 2015. Meskipun alat ini kecil, ia memiliki alat pertolongan darurat berupa bola yang dipenuhi oksigen sehingga ia bisa menyelamatkan banyak nyawa jika ada kegagalan secara tiba-tiba dalam alat rumah sakit atau pun hal hal tak terduga seperti runtuhnya seisi gedung rumah sakit.

Entah ini nikmat atau cobaan, aku masih diberikan kesempatan kedua oleh Tuhan. Nikmatnya karena aku tidak jadi mati secara mengenaskan. Cobaannya karena aku harus mengobati schizophreniaku lagi.

Huft...badanku lemas karena masih tak percaya jatuh dan selamat. Lalu aku pingsan begitu saja. Tergelatak di dalam bola darurat.

                               ***

Sejak saat itu, aku lebih serius lagi dalam mengobati schizophreniaku. Dan sekarang sudah tak ada lagi Ben. Yang ada hanya Pikun. Pikunku sebagai orang tua.

Saat ini sudah tahun 2056. Umurku 61 tahun sekarang. Sabrina sudah meninggal sejak 5 tahun yang lalu. Dan aku hanya tinggal di gubuk tua, peninggalan rumah tangga kami selama masih muda. Ditemani dengan 5 cucu yang main ke rumahku seminggu sekali, aku tidak begitu merasa kesepian. Walau di hati kecil ini masih begitu merindu Sabrina.

Sebentar. Ada cucuku yang menghampiri.

"Kek, Merry mau tau tanya boleh?", tanyanya lugu.

"Boleh mer, kenapa?"

"Merry mau dong diceritain sama kakek..."

"Cerita apa?"

"Tentang nenek...sama dulu kakek masih muda... boleh ya kek?"

"Hmmm...boleh. Sini duduk sebelah kakek. Akan kakek ceritain cerita kakek yang menakjubkan."

"Assyyiiikkk...."

Dan cerita kami berlanjut. Meskipun aku sudah pikun, pengalaman schizophreniaku masih tak bisa terlupakan. Terima kasih schizophrenia, yang telah memberiku pengalaman dan cerita yang menarik untukku ceritakan ke anak cucuku.

Kuharap, aku bisa bertemu dengan Sabrina yang sabar itu, di Surga-Nya.

Salam hangat,

Kenny
Mantan pengidap schizophrenia yang sembuh pada umur 47 tahun

Rabu, 30 September 2015

Another Twisted Story: On the Hospital Rooftop (part 2 of 3)

Bundar. Kotak tisu di sebelahku itu berbentuk bundar dan mengambang. Ya, 2029 adalah tahun dimana KOTAK tisu berbentuk BUNDAR. Sesuatu yang tidak pernah terfikirkan olehku dari dahulu. Dan ia mengambang guna menghampiri tuannya yang sedang membutuhkan tisu yang disediakannya. Kau tahu, kotak tisu ini sudah dipasangi prosesor, sehingga ia sudah bisa berfikir sendiri siapa yang membutuhkannya dan ia juga bisa merasakan jika tisu yang ada di dalamnya sudah habis lalu mengisi dirinya sendiri.

Hah! Semua kecanggihan itu tak membuat schizophreniaku menjadi sembuh. Tidak hanya kotak tisu saja yang sudah menjadi canggih di jaman ini. Bahkan kau bisa melihat kecanggihan seseorang dengan melihat komponen tubuhnya. Apakah tubuhnya itu masih orisinil atau sudah dihinggapi dengan augmentasi - augmentasi mesin berukuran nano. Tapi... AUGMENTASI ITU TIDAK BISA MENYEMBUHKAN SCHIZOPHRENIAKU!

Aku tidak mengerti. Aku tidak ingin menyalahkan zaman. Aku tidak ingin menyalahkan diriku sendiri. Lalu siapa yang salah terhadap penyakitku ini? Tuhan-kah?

Tidak. Aku tidak ingin menyalahkan Tuhan. I believe God is Good, ALL THE TIME!

Tapi bagaimanapun, aku bersyukur kepada Tuhan masih diberikan rizki sampai saat ini. Seperti yang aku bilang sebelumnya, biaya rumah sakit itu mahal dan menjadi 'manusia-manusia mekanik' sepertiku ini memiliki biaya perawatan yang tidak murah. Aku mengaku sekarang, bahwa aku sudah ditanami beberapa mesin berukuran nano yang mendorong saraf-saraf otakku menjadi lentur seperti plastik.

Mesin ini bekerja untuk mendorong saraf cerebral agar menghentakkan dirinya ketika aku sedang berhalusinasi. Efek hentakan nya itu dapat mengembalikan kesadaranku yang sedang dimakan perlahan menuju 'akal-akalannya' akalku. Setidaknya itu yang dikatakan dokter kepadaku. Tetapi ternyata halusinasi masih bisa mengalahkan teknologi. Dan diriku juga masih 'dikalahkan' oleh Ben.

                              ***

Aku baru saja mengalami kontraksi yang hebat di seluruh tubuh. Dan itu yang aku rasakan setiap aku mengalami terapi. Meski semua kecanggihan ini telah menyelimuti, tapi rasa sakit dan juga kontraksi ini tak pernah teredam saat terapi.

Aku...ingin bunuh diri saja. Tak tahan aku terhadap terapi ini yang harus dilakukan terus menerus selama nyawaku masih tersemat. Tak tahan aku membuat Sabrina kesusahan, terseok-seok karena suaminya yang terlalu 'liar'. Tak tahan aku terhadap orang - orang yang hidup di alam fikiranku yang telah membuat susah orang - orang di dunia nyata.

Hanya satu yang menahanku untuk melakukan bunuh diri. Sabrina. Aku yakin akan kata-kata Sabrina. Aku yakin akan motivasi Sabrina. Aku yakin akan KEYAKINAN Sabrina. Keyakinan itulah yang membuatku tetap hidup. Keyakinan itulah yang membuatku tetap bertahan. Keyakinan itulah yang membuatku tetap ADA di dunia ini.

Setelah kontraksi terapiku mulai mereda, dokter memperbolehkan istriku masuk untuk bertemu. Ia menyambutku dengan senyuman. Tapi aku tak melihatnya karena aku masih belum siuman. Hanya saja, belum siuman itu tak menghalangiku untuk merasakan hangatnya senyuman istriku itu. Ada pancaran yang hangat menoreh bibirku perlahan dan seakan mengecup. Dan aku yakin, itu berasal dari senyumannya.

Sabrina tetap terjaga selama 3-4 jam, menungguku untuk bangun dari keadaan dormant. Tidur panjangku itu tak menyurutkan semangat istriku untuk tetap berjaga jikalau aku bangun dan berhalusinasi yang aneh - aneh lagi.

Dan aku bangun. Membuka mata secara perlahan. Tiba - tiba jari telunjuk Sabrina menempel di bibirku. Ia bilang "ssstttt... jangan bicara dulu."

Aku menutup kembali mulutku yang akan terbuka itu.

"Kulihat kau sudah terlalu lama disini. Maukah kau berjalan-jalan,Kenny?", tanya Sabrina kepadaku dengan suara yang pelan.

Aku mengangguk perlahan untuk menjawab pertanyaannya.

"Kemana?", tanyanya.

"A...tap...", sambil menggerakan bola mataku ke arah atas dan juga menunjuk jari telunjuk ke arah langit-langit.

Istriku hanya mengangguk dan menyanggupi.

Cerita selanjutnya...
Mungkin...

-- To Be Continued --

Selasa, 29 September 2015

Another Twisted Story: On the Hospital Rooftop (part 1 of 3)

Noted: This short story is inspired by the text that kurniawangunadi posted in his tumblr. Which title is "Cerpen: Matahari Surga"

Mungkin aku ini hanya orang tua yang lugu. Mengidap schizophrenia dari sejak umur 20 terus menjaga keluguanku yang sudah berumur 34 tahun ini. Huh. Aku hanya bisa menyusahkan orang terdekatku saja. Yang setiap hari bekerja dan mencari uang, kemudian tiba - tiba kuhabiskan uang mereka dalam sekejap dengan perawatanku di rumah sakit ketika schizophrenia ini kambuh.

Terutama istriku. Ya, aku bersyukur mempunyai istri seperti dia. Sabrina namanya. Mungkin ibunya sabrina tau bahwa ia akan mendapatkan menantu sepertiku. Yang membutuhkan banyak pertolongan dan juga bantuan dari orang lain. Maka dari itu ia menamakan sabrina. Agar ia selalu sabar dalam menjalani kehidupan. Agar ia selalu sabar dan kuat meskipun 'berkedok' wanita. Agar ia selalu sabar dan tangguh meski ia diterjang badai apapun dalam statusnya sebagai seorang istri. Sabar... itu tercermin sekali dengan perilakunya.

Kata dokter, penyakit ini harus ditangani selama seumur hidup. Karena jika tidak, delusi dan halusinasi yang ada di dalam fikiranku ini akan memakanku hidup - hidup dengan bualan dan buaiannya. Meski perawatan sekarang tidak se-intensif dahulu, tetapi tetap saja biaya rumah sakit itu mahal. Dan aku tak kuasa untuk menyadari bahwasanya sudah banyak uang yang dikeluarkan oleh istriku dengan hasil usahanya dan juga hasil dari urunan uang sahabat - sahabatku dimana tempatku mengajar.

Tahun ini adalah 2029. Dimana aku sudah seharusnya menginjak tahun ke 12 dalam mengajar mata pelajaran olahraga di SMA 12 Jakarta Timur. 12 Tahun untuk 12 ya? Aku harap seperti itu. Tapi sebenarnya itu hanya perkiraan saja. Kau pasti bertanya, "Mengapa?".

Karena puncak penyakitku terjadi ketika di tahun 2023 lalu. Dimana ketika anak - anak kelas 11 waktu itu berekspektasi untuk ku bimbing dalam pelajaran olahraganya, ternyata aku justru sedang asyik dengan halusinasiku yang membawa diri ini ke medan jalan yang sedang tidak teratur. Yang membuatku juga dipecat sebagai guru disini.

Aku mengingat tentang... tembak-tembakan, dan juga aksiku dalam melewati 2 truk kontainer yang akan bertabrakan. Dan itu semua hanya ilusi. Yang terjadi sebenarnya adalah aku jatuh dari motor dan harus dibawa ke rumah sakit.

Ketika itu,dokter mengoperasiku yang sudah terlumur banyak sekali darah dan luka - luka yang telah terbuka hingga tulang yang terlihat menganga. Sangat mengenaskan kata istriku waktu itu,walaupun sebenarnya ia juga tidak diperbolehkan masuk ke ruang operasi oleh dokter. Kemudian setelah masa - masa 'vermak kulit' itu telah usai dan aku sudah siuman, aku melihat istriku. Pada awalnya saja. Kemudian 2 menit setelah itu, ada seorang laki - laki yang menjadi penyebab kecelakaan datang masuk menjengukku.

Ia laki - laki yang membersamaiku dalam aksi 'ugal-ugalan' yang kulakukan. Dan ia adalah laki - laki yang sama, yang telah muncul dari tahun 2015, tepat ketika aku berumur 20 tahun. Umur dimana aku mengalami ilusi,delusi, dan halusinasi schizophrenia pertamaku. Ia tidak terlihat bertambah tua, ia selalu membersamaiku, dan ia juga yang selalu mendorongku untuk melakukan hal - hal gila semenjak aku masih melajang.

Pada kunjungannya ini ia 'kembali' dengan baik-baik. Menyapaku seperti tidak pernah terjadi apa - apa sebelumnya.

"Kenny,bagaimana kabarmu?"

Aku diam.

"Hei, kenny. Aku disini. Tolong jawab aku. Maafkan aku yang telah membuatmu luka - luka seperti ini."

Aku masih diam. Istriku melihat ke arah tempat dimana aku melayangkan pandangan.

"Kenny, ayolah. Jangan karena kecelakaan ini kau jadi mendiamkan aku. Kita sudah berteman lama kan? Ayolah! Kau bangun sekarang dari tempat tidurmu dan kita kembali beraksi di jalanan. Just like old times, man!"

Aku menoleh kepada istriku dan berkata.

"Sayang, tolong usir Ben dari kamar ini. Aku tidak ingin dia ada disini, sayang.", kataku kepada istriku.

"Tapi sayang, disini tidak ada siapa - siapa kecuali kita berdua."

"Sayang, disana ada Ben. Aku tidak ingin melihatnya lagi. Tolong usir dia!", nadaku meninggi dan ingin menggerakkan tangan yang masih di infus ini ke arah Ben.

"Sayang, sayaaang, tenaannng..", Sabrina melihatku dengan tajam dan menahan laju tanganku di tempat tidur.

"Disini tidak ada siapa-siapa. Ben hanya ada di pikiranmu saja Kenny. Sudah berapa kali aku bilang bahwasanya kita akan bersama-sama menyembuhkan penyakit ini darimu.", Katanya. "Penyakit yang ada disini.", sambil menunjuk jidatku. Kemudian ia mengecup keningku, yang masih diperban tebal oleh dokter.

Itu ceritaku ketika di tahun 2023. Dimana 'manusia - manusia mekanik' belum banyak seperti sekarang.

Selanjutnya akan kembali kuceritakan terkait masa kini, dimana aku kembali terbaring di rumah sakit setelah terapi schizophrenia.

-- to be continued --

Rabu, 23 September 2015

Sajak Rindu

Aku rindu
Dengan tulisan-tulisanmu di kala senja
Seakan fenomena sunset itu adalah hasil dari penyerapan cahaya yang dilakukan olehmu di kala menulis
Tak habis pikir bahwasanya pena - pena yang kau pakai itu berasal dari Cahaya-Nya

Aku rindu
Di kala curhatan para lelaki yang mengaku menggemarimu
Kau merintih di dalam hati karena aku terlihat sama sekali tak cemburu
Padahal di dalam hatiku pun ada serigala yang sedang mencabik-cabik isi hati
Ya, karena setiap kata yang kau keluarkan dari bibir tipis mu yang merah itu
Iya, kau berhasil membuatku cemburu
Iya, kau sukses dalam bisnis mu menggugah asmaraku

Aku rindu
Matamu yang berbicara kepadaku
Pembicaraan delapan mata kita yang saling intensif meski sekitar dua detik lamanya
Dua detik yang menyenangkan dan menegangkan
Aku ingin lagi...melihat matamu saja
Cukup bagiku hanya matamu

Aku rindu
Di kala hujan kita berdua
Menyisakan beberapa orang di sekitar kita untuk melipir menjadi orang Yang ngontrak di dunia Ala kita
Kau tahu? Hatiku berdegup kencang saat itu
Meski sebenarnya jarak kita terpisah kisaran 4,8 meter di bawah teduhan atap

Aku rindu
Memberikan barang-barang yang ku punya
Pertemuan tangan kita... tak ingin ku ada-adakan
Tapi di waktu itu, memang keadaan tak sengaja memaksa ku untuk menyentuh tanganmu yang lembut
Maafkan aku, yang telah mengotori tanganmu yang suci nan murni
Maaf...hanya bisa itu yang aku sampaikan
Atas kebejatan ku yang tak sengaja memegang tanganmu

Aku rindu
Membalap motormu di tengah gelapnya malam
Hujan di jalan purbalingga membuat balapan itu semakin bisa dikendalikan
Dikendalikan oleh alam maksudku
Terpaksa karena hujan, kita sebaris berdua memaksa menembus tebalnya kabut dan hujan
Kau menjadi pengikut, dan aku menjadi pelindung
Meski sebenarnya aku berada di tempat duduk "yang dibonceng"

Aku rindu
Menaiki gunung...
Eh, kita tak pernah bersama naik gunung ya?
Ah...sudahlah...
Mungkin aku yang lelah

Pada akhirnya,
Aku rindu kamu...

Senin, 21 September 2015

Haduh, binsat...binsat...

Haduh, binsat...binsat...
Nama kau ga pernah ditulis jadi ketua
Tapi kau sok sok an menggerakkan orang yang terlena dan butuh arah
Memang kau sendiri sudah tau dan punya arah?
Kagak bin, sadar diri lah kau

Haduh, binsat...binsat...
Nama kau juga ga pernah itu ditulis sebagai sekretaris jenderal
Tapi mau sok sok an membantu administrasi yang sedang kacau dan amburegul itu
Memang kau sendiri tugas di kampusnya sudah selesai?
Kagak bin, sadar diri lah kau

Haduh, binsat...binsat...
Nama kau sekalipun tak pernah tertulis sebagai kaderisasi
Tapi kau selalu sok sok an memberikan tips bagaimana menggaet kader yang jumlahnya tak bisa kau hitung dengan kalkulator
Memang kau sendiri sudah bisa memprospek orang untuk bisa menjadi sekubu sepemahaman dengan kau?
Kagak bin, sadar diri lah kau

Mungkin hanya langit runtuh yang bisa menyadarkan
Bahwasanya amanah yang bertolak belakang dari kapasitas diri seperti ini
Tidak dibutuhkan orang orang sempurna untuk memperkerjakannya
Tetapi hanya cukup orang yang ingin berubah dan merubah ke arah yang lebih baik

Tak peduli ala kadarnya orang berkata hinaan hinaan yang menyakitkan tentang dirimu, bin
Pada akhirnya kau harus bekerja ikhlas, bekerja tuntas, bekerja cerdas
Karena tanpa ikhlas, kau tak tau betapa sedapnya bersilaturahim
Karena tanpa tuntas, kau takkan bisa merasakan senangnya di kala pahit
Karena tanpa cerdas, kau takkan bisa menularkan ilmu dalam dalam

Haduh, binsat... binsat...

Sabtu, 15 Agustus 2015

Setahun sudah kita berjalan

Menggeol. Setelah lama santer dari dunia per-blogging-an, jariku kembali tergelitik untuk menggeol-geol di atas keyboard HP untuk sekedar menulis di blog ku kembali. Bayangkan,sudah setahun lamanya tak ada postingan di blog ini. Semoga bisa merubah isi konten blog ini menjadi lebih fresh, young,and (well...a little) dangerous. Haha

Anyway, hari ini aku akan berjalan, menyusuri turunan hingga ke koramil, untuk sekedar menaiki bis omprengan ke arah terminal salatiga. Tujuan utamanya sih karanganyar. Tapi mungkin akan mampir dulu ke solo untuk bertemu dengan teman lama, yang sekarang sudah menjadi trainer muda katanya. Hehe.

Wish me have a safety trip guys! :)