Pages

Sabtu, 03 Oktober 2015

Another twisted story: On the Hospital Rooftop (part 3 of 3)

Written by: Johan Iswara (Coordinator of Pengusaha Kampus Jateng Plat R and Member of Pengusaha Kampus Writerpreneur)
Inspired by: @kurniawangunadi from his short story "Cerpen: Matahari Surga" on Tumblr

Sabrina perlahan membantuku bangun dari tempat tidur. Badan yang masih terasa begitu berat akibat kejang - kejang yang kualami selama terapi tadi memaksa sabrina untuk bisa lebih sabar dalam menopang tubuhku. Ia membantuku untuk ditaruh di kursi levitasi. Hmm...mungkin kau yang membaca tulisan ini lebih mengenal kursi roda ketimbang kursi levitasi.

Kursi ini terbang, mengangkutku menuju pintu yang ada di penghujung kamar. Kemudian istriku menyentuh beberapa tombol di dekat pintu. Tombol tombol itu berguna untuk menggerakkan ruangan ini ke arah yang diinginkan. Konsepnya seperti lift, tetapi setiap kamar bisa digerakkan. Jadi tidak perlu lagi orang bergerak menuju ke tempat yang ingin dituju di rumah sakit ini, cukup gerakkan RUANGAN dan juga SEISINYA dengan beberapa tombol saja.

Hanya dalam 5 detik, kamarku yang berada di lantai 16 ini langsung berada di atap rumah sakit yang notabene berada di lantai 23.

Kemudian aku keluar dengan dibantu Sabrina yang mendorong kursi levitasi yang aku tumpangi.

Wuuusss...

Angin malam menerpaku terlebih dahulu ketimbang Sabrina. Pantas saja, Sekarang sudah jam 22.30. Semoga saja Sabrina tidak sakit, menemaniku di atap setelah hampir seharian ia terjaga.

Kita bersama, menuju ujung atap, dimana pemandangan kota tampak begitu indah nan memukau. Orang dan kendaraan begitu 'menyemuti' lansekap yang ada. Begitu kecil, sampai mungkin orang sepuh yang melihat ini membutuhkan kacamata untuk melihatnya.

Lalu aku menengadahkan tanganku dan.menoleh ke Sabrina.

"Ta...ruh...", ucapku lirih sambil melihat ke arah tanganku.

Kemudian Sabrina bertanya, "Apa yang harus aku taruh?"

"Ta...ngan..."

Saat itu juga Sabrina begitu sergap menaruh tangannya, menyelimuti tanganku yang semakin dingin berkat angin malam. Malam ini... aku harus berbicara kepadanya terkait apa yang selama ini aku pendam.

"Sa...", dengan nada menurun dan nafas yang terengal

"Iya?"

"A...ku..."

Belum selesai, tiba - tiba ada yang memanggilku dari belakang. Suara laki - laki. Familiar.

"Kenny!", teriak Ben. "Akhirnya kau keluar juga dari kamarmu. Sudah punya keberanian sekarang? Kalau begitu, ayo kita berpetualang lagi...", ajaknya bersemangat.

Aku diam.

"Sayang, kamu kenapa?", tanya Sabrina kepadaku.

"Ada...Ben...", sambil menunjukkan jariku ke arah tempat Ben muncul.

"Tenang sayang. Tenang. Ben hanya ada di dalam pikiranmu. Disini tidak ada siapa - siapa.", kemudian genggaman tangan Sabrina kepadaku semakin keras, seakan tak mau lepas.

"To...long...u...sir...", pintaku.

"Enggak kenny. Yang bisa mengusir Ben cuman kamu."

Kemudian Sabrina memelukku erat sambil mengusap rambutku dengan tangannya, seakan tau keinginanku malam ini membawanya ke atap.

"O...bat...",kataku kepada Sabrina.

"Tapi...kau baru saja selesai terapi sayang.", katanya cemas kepadaku.

"Gak...papa..."

Akhirnya Sabrina kembali memencet beberapa tombol di dekat pintu untuk memanggil kamarku. Secara status, kini aku sendiri di atap. Karena istriku sedang tidak memerhatikanku. Dan yang sedang memerhatikan justru adalah Ben.

"Kau tak bosan apa ditemani dengan Sabrina terus?", tanya Ben dengan nada meremehkan.

Aku diam, meskipun sedikit emosi. Tidak, tidak. Ben itu hanya ilusi. Aku tidak boleh emosi dengan perkataannya.

"Hei kawan. Ayolah. Aku tahu kau itu adalah orang yang bebas. Penuh petualangan. Masa iya kau selalu mau dikekang oleh istrimu itu?"

Aku tetap diam sambil menenangkan fikiranku.

"Kau tau? Sekarang aku yang bosan berpetualang. Aku ingin menjadi seperti kau. Aku iri denganmu."

Tetiba aku heran. Baru kali ini aku mendengar perkataan seperti itu dari Ben, si tokoh imajiner ciptaan Schizophrenia yang ada di dalam kepalaku.

"Aku iri denganmu. Mempunyai istri yang setia dan cantik seperti dia. Bagaimana jika kita bertukar tempat? Kau yang berpetualang dan aku yang menemani Sabrina?", kata Ben.

Aku masih diam, menebak - nebak apa yang dimaksud dari perkataan Ben.

Kemudian ada bunyi "TING!", tanda kamarku sudah sampai di atap. Lalu ada suara dibukanya pintu tanda Sabrina masuk ke dalam kamarku untuk mengambil obat.

Saat itu juga Ben melanjutkan perkataannya.

"Sabrina...oh...Sabrina... aku ingin menggenggam tanganmu, memeluk tubuhmu, mengecup bibirmu.", ujar Ben.

Jujur, aku cemburu. Aku tersulut dengan perkataan seorang tokoh imajiner. Kemudian Ben berjalan ke arah ujung atap dari yang tadinya ia sedang berada di sebelahku.

"Ooh...Sabrina...Sayang sekali mengapa kamu mendapat laki - laki bajingan seperti Kenny yang suka sakit - sakitan ini. Mengapa engkau mau dengan dia? Ooh... sayang sekali dirimu yang indah itu harus termakan dengan keluhan keluhan Kenny yang tak berdaya ini."

Aku marah. Emosiku memuncak. Refleks, aku mendorong tuas yang ada di kursi levitasiku ke arah depan dengan kencang. Tujuannya untuk menabrak Ben yang sedang berada di tepi atap. Alhasil kursi levitasiku maju dengan kecepatan 10 km/jam dan menabrak Ben.

Tapi ketika menabrak Ben, aku baru sadar bahwa ia bukanlah nyata. Ia menembus begitu saja di hadapanku, meninggalkan dinding yang akan aku tabrak di depan. Jikalau aku tabrak dinding ini, otomatis aku akan terlempar dan jatuh dari ketinggian 23 lantai.

Saat itu, istriku baru saja membuka pintu kamar setelah mengambil obatku. Dan yang ia lihat adalah pemandangan dimana aku sudah mulai setengah terlempar ke arah luar atap. Spontan ia teriak, "KENNYYYYY!!!". Sementara teriakan itu tak menghentikan laju jatuhku.

Aku menyesal. Mengapa aku termakan dengan bualan dan juga 'gorengan' Ben terhadapku. Mungkin aku kotor. Mungkin aku terlalu hina. Sampai sampai aku mengikuti hawa nafsuku untuk membunuh Ben dengan fisikku. Dan bukan dengan akalku.

Perlahan, satu persatu lantai aku lewati. 17,16,15,14. Terus ke bawah dan tak kuasa aku melihatnya. Aku pasrah. Mungkin kau mengenal peribahasa "Sudah jatuh, tertimpa tangga pula". Sekarang aku mengalami "Sudah jatuh, terkena aspal pula".

Sesampainya di lantai 4, aku merasa kakiku mulai dingin, tak terasa. Di lantai 3, perutku mulai hilang asa. Dan di lantai 2, jantungku mulai berhenti.

Saat itu juga, tiba - tiba ada bola yang menyelimutiku sekujur tubuh yang berasal dari tangan sebelah kananku. Tepatnya di bagian pergelangan tangan. Kemudian badanku mengikuti alunan membalnya bola di tanah yang tadinya kukira akan aku rasakan langsung dengan sekujur tubuh.

Saat itu aku langsung bisa merasakan kembali tubuhku,tangan,kaki, semuanya. Lalu aku bangun. Masih dengan keheranan. Kulihat sekeliling untuk mengetahui alasan mengapa aku bisa selamat jatuh dari lantai 23.

Ternyata, bola ini berasal dari infusedisk-ku. Infusedisk ini bekerja sebagai infus, bentuknya kecil hanya seukuran flashdisk di tahun 2015. Meskipun alat ini kecil, ia memiliki alat pertolongan darurat berupa bola yang dipenuhi oksigen sehingga ia bisa menyelamatkan banyak nyawa jika ada kegagalan secara tiba-tiba dalam alat rumah sakit atau pun hal hal tak terduga seperti runtuhnya seisi gedung rumah sakit.

Entah ini nikmat atau cobaan, aku masih diberikan kesempatan kedua oleh Tuhan. Nikmatnya karena aku tidak jadi mati secara mengenaskan. Cobaannya karena aku harus mengobati schizophreniaku lagi.

Huft...badanku lemas karena masih tak percaya jatuh dan selamat. Lalu aku pingsan begitu saja. Tergelatak di dalam bola darurat.

                               ***

Sejak saat itu, aku lebih serius lagi dalam mengobati schizophreniaku. Dan sekarang sudah tak ada lagi Ben. Yang ada hanya Pikun. Pikunku sebagai orang tua.

Saat ini sudah tahun 2056. Umurku 61 tahun sekarang. Sabrina sudah meninggal sejak 5 tahun yang lalu. Dan aku hanya tinggal di gubuk tua, peninggalan rumah tangga kami selama masih muda. Ditemani dengan 5 cucu yang main ke rumahku seminggu sekali, aku tidak begitu merasa kesepian. Walau di hati kecil ini masih begitu merindu Sabrina.

Sebentar. Ada cucuku yang menghampiri.

"Kek, Merry mau tau tanya boleh?", tanyanya lugu.

"Boleh mer, kenapa?"

"Merry mau dong diceritain sama kakek..."

"Cerita apa?"

"Tentang nenek...sama dulu kakek masih muda... boleh ya kek?"

"Hmmm...boleh. Sini duduk sebelah kakek. Akan kakek ceritain cerita kakek yang menakjubkan."

"Assyyiiikkk...."

Dan cerita kami berlanjut. Meskipun aku sudah pikun, pengalaman schizophreniaku masih tak bisa terlupakan. Terima kasih schizophrenia, yang telah memberiku pengalaman dan cerita yang menarik untukku ceritakan ke anak cucuku.

Kuharap, aku bisa bertemu dengan Sabrina yang sabar itu, di Surga-Nya.

Salam hangat,

Kenny
Mantan pengidap schizophrenia yang sembuh pada umur 47 tahun